Recent post
Archive for Oktober 2012
Ikon Kelahiran |
Gereja
menetapkan tanggal 25 Desember sebagai Hari Raya Natal untuk merayakan
Hari Kelahiran Yesus Kristus. Gereja Katolik telah merayakan Natal sejak
abad-abad pertama Gereja Katolik hadir. Daniel Rops, seorang sejarawan
dari Prancis, mengatakan bahwa pada masa penganiayaan Gereja Katolik
sampai keluarnya Edict Milan (313) yang memberikan kebebasan beragama
kepada Gereja Katolik, umat Katolik telah merayakan Natal secara
sembunyi-sembunyi di Katakombe-katakombe (makam bawah tanah) yang ada di
Kekaisaran Romawi. [Daniel Rops, Prières des Premiers Chrétiens, Paris: Fayard, 1952, pp. 125-127, 228-229].
Mendukung pernyataan Daniel Rops ini, saya tampilkan sebuah lukisan fresco abad ke-2 dari Gereja Katakombe St. Priscilla di Roma yang menggambarkan Nativity of Christ atau Kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus.
Lukisan Fresco Kelahiran Yesus Kristus dari abad ke-2 di Katakombe St. Priscilla di Roma |
Bapa Gereja Teofilus, Uskup Caesarea
di Palestina (115-181 M), yang hidup dalam masa pemerintahan Kaisar
Commodus mungkin adalah orang pertama yang secara eksplisit memberikan
pernyataan mengenai Natal:
“Kita harus merayakan hari kelahiran Tuhan kita pada tanggal 25 Desember yang akan berlangsung.” [Magdeurgenses, Cent. 2.c.6. Hospinian, de Origin Festorum Christianorum]
Sextus Julius Africanus
(220 AD), walau tidak berbicara mengenai adanya perayaan Natal, ia
secara implisit menyatakan bahwa 25 Desember sebagai tanggal kelahiran
Kristus. Dalam bukunya Chronographia, ia mengatakan bahwa dunia
diciptakan pada tanggal 25 Maret berdasarkan kronologi Yahudi dan
sejarah Kristen Perdana. Ia mengatakan bahwa pada tanggal 25 Maret ini,
Sang Firman Allah menjelma menjadi manusia; hal ini membuat sense simbolis
yang sempurna karena pada saat Penjelmaan ini, penciptaan yang baru
dimulai. Berdasarkan Julius Africanus, karena Sang Firman Allah menjelma
menjadi manusia sejak masa Dia dikandung oleh Perawan Maria, hal ini
berarti setelah 9 bulan, Sang Firman Allah yang telah menjadi manusia
itu lahir pada tanggal 25 Desember.
St. Hipolitus dari Roma,
pentobat yang dulunya seorang anti-Paus pada masa penggembalaan Paus
St. Zephyrinus, Paus St. Kallistus I, Paus St. Urbanus I dan Paus St.
Pontianus, secara eksplisit juga menyatakan bahwa Yesus Kristus lahir
pada tanggal 25 Desember:
Untuk kedatangan pertama Tuhan kita dalam daging, [terjadi] ketika Ia lahir di Betlehem, eight days before the kalends of January (25 Desember), hari keempat (Rabu) dalam minggu ketika Augustus (kaisar Romawi) dalam 42 tahun [pemerintahannya] tetapi dari Adam 5500 tahun. Ia (Yesus) menderita pada [usia] 33 tahun, eight days before the kalends of April (25 Maret), tahun kelimabelas Kaisar Tiberius ketika Rufus dan Roubellion dan Gaius Caesar, untuk keempat kalinya, dan Gaius Cestius Saturninus menjadi konsul [di Roma]. (St. Hippolytus of Rome (c. 225 AD), Commentary on Daniel 4.23.3)
Sedangkan, Bapa Gereja Yohanes, Uskup Nicea, memberitahu kita bahwa Paus St. Julius I (336-352) dengan bantuan tulisan-tulisan dari sejarawan Yahudi, Josephus, telah memastikan bahwa Kristus lahir pada tanggal 25 Desember.
Pada akhir abad keempat, Uskup Epifanius dari Salamis
(salah satu sejarahwan Gereja) memberikan kronologi kehidupan Tuhan
Yesus Kristus di mana menurut Kalender Julian (saat ini Gereja Katolik
Roma menggunakan Kalender Gregorian) tanggal 6 Januari adalah hari
kelahiran Tuhan dan 8 November adalah hari pembaptisan Tuhan di Sungai
Yordan.
Pada permulaan abad kelima, biarawan terpelajar, St. Yohanes Kassianus dari Konstantinopel,
pergi ke Mesir untuk mempelajari peraturan-peraturan biara di sana.
Antara tahun 418 hingga 425, St. Yohanes Kassianus menulis laporan
pengamatannya. Dia memberitahukan kita bahwa uskup-uskup di wilayah itu,
pada masa tersebut, menganggap Pesta Epifani (Penampakan Tuhan) sebagai
hari kelahiran Tuhan dan tidak ada perayaan terpisah dalam menghormati
kelahiran Tuhan. Dia menyebut hal ini “tradisi kuno”. Kebiasaan lama ini
segera memberi jalan bagi tradisi baru. Sementara mengunjungi St.
Sirillus, Patriark Alexandria; Uskup Paulus dari Emesa berkhotbah
pada perayaan kelahiran Tuhan Yesus pada 25 Desember tahun 432 M. Natal
telah diperkenalkan kepada Mesir sebelum waktu kunjungan ini, dapat
dikatakan sekitar 418 dan 432 M dan peristiwa ini menjadi bukti kuat
berdasarkan kalender yang telah ada.
St. Gregorius dari Nazianzus,
Bapa Gereja dan Uskup, selama tinggal di daerah Seleucia di Isauria
(Turki sekarang) merayakan Natal untuk pertama kalinya di Konstantinopel
pada tanggal 25 Desember 379.
St. Yohanes Krisostomos,
Bapa Gereja dan Uskup, berkhotbah di Antiokia pada tanggal 20 Desember
386 dan karena kefasihan pewartaannya, ia berhasil mengajak umat beriman
untuk menghadiri Natal 25 Desember 386. Sejumlah besar umat beriman
hadir di Gereja ketika Natal dirayakan. Kita memiliki salinan khotbah
St. Yohanes Krisostomos. Pada Pengantar khotbah, ia berkata bahwa ia
berharap dapat berbicara kepada mereka mengenai perayaan Natal yang
telah menjadi kontroversi besar di Antiokia. Dia mengusulkan kepada para
pendengarnya untuk menghormati dan merayakan Natal dengan tiga dasar: Pertama, karena Natal telah menyebar dengan cepat dan pesat dan telah diterima dengan baik di berbagai daerah. Kedua,
karena waktu pelaksanaan sensus pada tahun kelahiran Yesus dapat
ditentukan dari berbagai dokumen kuno yang tersimpan di Roma; Ketiga,
waktu kelahiran Tuhan Yesus dapat dihitung dari peristiwa penampakan
malaikat kepada Zakarias, ayah Yohanes Pembaptis, di Bait Allah.
Zakarias, sebagai Imam Agung, masuk ke dalam Tempat Mahakudus pada Hari
Penebusan Dosa Yahudi (The Jewish Day of Atonement). Hari tersebut jatuh
pada bulan September menurut kalender Gregorian. Enam bulan sesudah
peristiwa ini, malaikat Gabriel datang kepada Maria dan enam bulan
kemudian Yesus Kristus lahir, yaitu pada bulan Desember. St. Yohanes
Krisostomos menyimpulkan khotbahnya dengan sanggahan telak terhadap
orang-orang yang menolak bahwa Sang Allah telah menjadi manusia dan
tinggal di dunia. St. Yohanes Krisostomos, dengan mengacu pada khotbah
di atas, mengatakan dengan jelas bahwa pada masa tersebut, ketika
perayaan Natal diperkenalkan di Timur, Natal telah dirayakan di Roma
lebih dulu.
Melihat
pemaparan di atas, saya sangat yakin bahwa Tuhan Yesus sungguh lahir
pada tanggal 25 Desember. Tetapi saya juga sangat sadar bahwa Natal
bukan sekadar soal tanggal lahir Tuhan Yesus.
Banyak
orang-orang yang menolak dan skeptis terhadap Natal berusaha untuk
mendiskreditkan Natal bahkan membuat mitos bahwa Natal adalah hasil
adopsi dari perayaan pagan bernama Dies Natalis Solis Invicti yang sebenarnya ditetapkan Kaisar Aurelianus
pada 25 Desember 274 untuk menandingi Natal Gereja Katolik.
Bagaimanapun juga, pendiskreditan ini menunjukkan kesalahpahaman
mengenai tentang apa itu Natal. Dalam Gereja, Natal adalah sebuah Hari
Raya yang ditetapkan oleh Gereja untuk merayakan dan mengenang bahwa
Allah yang menjadi manusia tanpa kehilangan ke-Allah-anNya kini telah
lahir untuk menyelamatkan kita dari dosa dan menebus dunia. Allah yang
mahakasih itu menjadi seorang bayi kecil, lahir dari rahim seorang
Perawan untuk membebaskan kita dari kematian dan dosa, inilah yang
dinubuatkan Para Nabi di Perjanjian Lama.
Mereka
yang menolak atau skeptis terhadap Natal berpikir terlalu banyak
mengenai istilah teknis dan angka-angka sedangkan mereka kehilangan
makna dari Natal itu sendiri. Makna Natal bukanlah mengenai akte
kelahiran lengkap dengan isinya, tetapi mengenai cinta kasih dari Allah
yang telah menjadi manusia bagi kita.
Demikianlah
secara singkat asal-usul Perayaan Natal yang kita rayakan 25 Desember
setiap tahunnya. Perayaan Natal memang memiliki asal usul yang sangat
tua dan telah dirayakan sejak zaman Gereja Perdana. Natal bukanlah
perayaan pagan yang diadopsi masuk ke dalam Kekristenan, tetapi Natal
adalah Perayaan Misteri Iman yang berasal dari dalam Kekristenan itu
sendiri.
dikembangkan dari Newsletter of Pope John Paul II Society of Evangelists December 2007, Christmas Was Never a Pagan Holiday by Marian T. Horvath, dan berbagai sumber-sumber minor lainnya.
Suatu tengah malam pada
waktu retret, saya masuk ke kapel. Ketika saya mencari tombol untuk menyalakan
lampu di bagian belakang ruangan, secara tidak sengaja saya melihat salib yang
besar tergantung di dinding. Karena alasan yang aneh saya berjalan mendekati
salib dan memandang wajah Kristus secara langsung. Saya tidak tahu pasti apa
yang saya harapkan, tetapi saya terkejut oleh apa yang saya temukan. Mata patung
Kristus mempunyai bulu mata yang terbuat dari rambut manusia. Tatapan ke wajah
Kristus pada malam itu sangat mengesankan – tidak ada yang lebih mengesankan
saya, yaitu kemanusiaan Yesus yang sederhana dan dapat disakiti. Ia menyelesaikan
misi-Nya dengan mengalami bermacam rasa sakit seperti misalnya merasakan lapar,
tidak bisa tidur, lelah dan sakit.
Dampak langsung dari
penemuan saya itu ialah kesadaran yang tak akan pernah hilang bahwa Kristus
juga menangis karena sukacita dan bahagia. Seperti kita, Ia juga mencium
wanginya bebungaan, menikmati keindahan mentari terbenam. Ia mengenal nyamannya
pelukan hangat serta pandangan yang tidak berperasaaan dan menolak-Nya. Ketik saya
membaca dua bab pertama dari Injil Lukas sebagai tugas yang diberikan oleh
pembimbing retret, penjelasan Lukas tentang hal-hal khusus seperti waktu dan
tempat mempunyai makna baru. Yesus dilahirkan “pada zaman Herodes, raja Yudea”
(Luk 1:5). “Dalam bulan keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah
kota di Galilea bernama Nazaret” (Luk 1:26). Maria, bergegas berangkat berjalan
“ke pegunungan menuju sebuah kota di Yehuda” (Luk 1:39). Dan Kaisar Agustus
mengeluarkan suatu perintah “menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia”
(Luk 2:1). Di masa lalu detil-detil ini tidak banyak berarti, bukankah penulis
Injil lain tidak seteliti itu mengenai hal-hal ini. Tetapi dengan kesadaran
yang lebih tinggi tentang kemanusiaan Kristus, keterangan Lukas tentang
tempat-tempat dan waktu-waktu bersejarah ini membuat saya menjumpai Yesus
dengan cara yang baru. Penyelamat kita, sama seperti kita, dihubungkan dengan
waktu dan ruang. Ia membangun jalan keselamatan di tengah-tengah suatu tempat
tertentu, dan dalam sebuah keluarga dan rutinitas. Ia tidak dibebaskan dari
kehidupan sehari-hari.
Misalnya, dalam Lukas
5, Yesus melihat “dua perahu di tepi pantai. Nelayan-nelayannya sedang turun
dan membasuh jalanya” (Luk 5:2), itu adalah pemandangan yang biasa, tidak ada
yang ilahi ataupun luar biasa. Orang-orang ini bisa saja sedang mengisi bensin
ke mobil, atau bekerja di ladang, atau sibuk dengan komputer mereka. Hidup-Nya
sehari-hari sangat biasa, normal. Karena bagian yang terberat dalam perjalanan
hidup ini adalah menghayati kehidupan yang begitu-begitu dan biasa saja, maka
perlulah kita mengingat bahwa Yesus juga mengalami rutinitas yang membosankan
itu.
Karya klasik Thornton Wilder
“Our Town” mengagungkan sifat universal, cinta dan kematian. Untuk melakukan
hal itu sang penulis drama mendasarkan dramanya pada suatu tempat tertentu. Maka
kita diberi tahu bahwa “Nama kota itu adalah Grover’s Corners, New Hampshire –
dekat perbatasan Massachusetts; garis lintang 42 derajat 40 menit, garis bujur
70 derajat 32 menit. Babak pertama
memperlihatkan kegiatan sehari-hari di kota kami. Hari ini adalah tanggal 7 Mei
1901.” Kisahnya mempunyai implikasi universal tentang kehidupan dan kematian,
tetapi kotanya sudah tertentu dan waktunya tertentu. Hidup bagi kita semua,
termasuk bagi Yesus, harus dijalani secara khusus.
Tetapi memikirkan
tentang Yesus yang merasakan ketegangan otot-otot serta merasakan lapar, dan
bahkan mempunyai akar-akar geografis-Nya, hanya menghantar kita sampai di situ
saja. Yang penting adalah perubahan-perubahan yang terjadi karena digerakkan
oleh inkarnasi. Yesus sebagai manusia yang mempunyai bulu mata, dapat melihat
kemungkinan-kemungkinan yang ilahi. Ia tidak terikat oleh realita-realita hidup
yang sesaat dan tertentu. Ia dapat melihat melampaui batas-batas duniawi itu.
Kisah Yohanes tentang
perkawinan di Kana mengabadikan bagi kita saat transformasi semacam itu. “ Di
situ ada enam tempayan yang disediakan untuk pembasuhan menurut adat orang
Yahudi, masing-masing isinya dua tiga buyung”. (Yoh 2:6). Tempayan-tempayan ini
digunakan untuk pembasuhan, tetapi Yesus melihat kemungkinan lain. Ia mengetahui
bahwa tempayan-tempayan itu dapat diisi dengan anggur. Ciri itu, kemampuan
untuk melihat adanya kemungkinan luar biasa dalam situasi yang rutin, merupakan
ciri khas Yesus. Perkawinan merupakan norma umum dalam kehidupan Yahudi; Yesus
dan Ibu-Nya pasti telah menghadiri banyak pesta kawin. Ia mengambil saat,
dengan dorongan ibu-Nya, untuk membuat mujizat. Dalam semua Injil dilukiskan
kemampuan Kristus tanpa batas untuk melihat kemungkinan-kemungkinan, untuk
melihat pertobatan hati setiap orang berdosa, untuk membayangkan kesehatan
meskipun yang dihadapi adalah penyakit.
Karena pengertian saya
tentang kemanusiaan Yesus menjaid pusat perhatian dalam retret saya, maka saya
masih meneruskan berdoa dan membaca bacaan-bacaan yang serupa setelah retret
berakhir. Saya mulai membaca Injil dengan membuka peta Palestina. Seperti nama-nama
tempat dalam awal Injil Lukas, petunjuk-petunjuk geografis lain yang sudah
sangat kita kenal mungkin kita abaikan. Membaca Injil sambil melihat peta
Palestina mengajarkan hal yang penting tentang daya tahan Yesus. Perjalanan kaki
bermil-mil melalui daerah berbukit-bukit - ditambah dengan pekerjaan-Nya
sebagai tukang kayu dan tukang batu di bengkel Yosef – membuat Yesus menjadi
seorang yang kuat perkasa. Dalam Injil Lukas banyak disebut tentang perjalanan
Yesus. “Kemudian Yesus pergi ke Kapernaum” (Luk 4:31). “Ketika hari siang,
Yesus berangkat dan pergi ke suatu tempat yang sunyi” (4:42). “Pada waktu itu
pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa” (Luk 6:12). “Ketika Yesus pergi ke suatu
kota yang bernama Naim” (Luk 7:11). Ia selalu dalam perjalanan – dan melalui
daerah yang berbatu-batu dan berbukit-bukit. Pasti Ia sangat sehat.
Gambar-gambar dari
negeri yang didiami Yesus meskipun melukiskan keindahan juga menunjukkan daerah
perbukitan batu. Orang yang tersandung batu di daerah perbukitan Yudea dapat
mati karena terjatuh. Hanya dengan daya tahan yang tinggi Yesus dapat berjalan
pulang balik melalui daerah yang keras ini.
Sebagaimana realita
eksternal dari bulu mata Yesus membuat saya memahami penglihatan-Nya ke dalam
batin manusia, demikian pula pemahaman tentang kekuatan fisik-Nya membuat saya
menyadari kedisiplinan-Nya, kekerasan-Nya. Ada beberapa contoh dari tuntutan
Yesus mengenai hal-hal rohani yang tidak dapat ditawar, suatu ketetapan hati
yang sepadan dengan kekuatan fisik-Nya.
Misalnya di dalam Lukas
kita membaca tentang seorang perempuan yang bertobat, mengurapi kaki Yesus
dengan minyak ketika Ia sedang makan di rumah seorang Farisi (Luk 7:36:50).
Orang Farisi itu tidak mengatakan apa-apa tetapi berpikir, “Jika Ia nabi, tentu
Ia tahu, siapakah dan apakah perempuan yang menjamah-Nya ini, bahwa ia adalah
seorang berdosa.” Meskipun si Farisi tidak mengatakan apa-apa, Yesus berkisah
untuk menjawab “apa yang dipikirkan orang itu”. Injil menganjurkan agar
pikiran-pikiran kita yang berlawanan dengan ajaran Yesus tidak dibiarkan. Yesus
berkata kepada tuan rumah-Nya, “Engkau tidak memberikan Aku air untuk memasih
kaki-Ku. “Engkau tidak mencium Aku.” “Engkau tidak mengurapi kepala-Ku dengan
minyak.” Ia kemudian menunjukkan kemurahan hati yang dimiliki oleh perempuan
yang bertobat itu. Meskipun orang Farisi itu menjadi tuan rumah serta menjamu
Yesus, tetapi itu saja belumlah cukup. Yesus menegurnya karena ia tidak
melakukan lebih banyak. Pesan yang dikatakan Yesus, seorang laki-laki yang
mempunyai kekuatan jasmani dan rohani, merupakan pesan yang keras.
Lalu, ketika Yesus
mengutus murid-murid-Nya, Ia berpesan, “Jangan membawa apa-apa dalam
perjalanan, jangan membawa tongkat atau bekal, roti atau uang, atau dua helai
baju.” (Luk 9:3). Tugas yang dihadapi Para Rasul itu berat, mungkin merupakan
tugas yang paling menakutkan dan membutuhkan keberanian yang luar biasa yang
pernah mereka lakukan. Tetapi Yesus mengatakan, “Tegarlah. Jangan melindungi
diri dengan membawa terlalu banyak barang-barang.” Dan tentu saja dengan
mengikuti nasihat-Nya, Para Rasul mampu menyebarkan kabar baik.
Dan bagaimana dengan
nasihat yang keras dalam Markus 9:38-50? Daripada menyesatkan seseorang “lebih
baik jika sebuah batu kilangan diikatkan” pada leher kita “lalu dibuang ke
dalam laut”. Jika tanganmu menyesatkan engkau, penggallah”. “Jika kakimu
menyesatkan engkau, penggallah”. “Jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah”.
Betapa keras kata-kata itu. Kita tidak dapat menghindar dari pesan yang
disampaikan: mengikuti kehendak Allah menuntut segala yang kita miliki; mungkin
kita tidak kuatir tentang mata atau tangan atau kaki kita. Tetapi barangkali
sifat kita, kekerasan kepala, kerasukan atau keserakahan kitalah yang
mengganggu kita. Apa pun halangan bagi keselamatan kita harus “dipenggal”.
Setelah beberapa bulan bertumbuh dalam permahaman
tentang Yesus Kristus, manusia yang dapat disakiti dan kuat ini, saya ingin
melihat negeri di mana Yesus pernah hidup. Saya ingin berjalan di daerah yang
telah saya lihat dalam peta. Saya ingin melihat apa yang dilhat oleh mata-Nya.
Maka saya berziarah ke tanah suci.
Gurun Yudea
meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Dengan melihat tebing-tebing batu,
gua-gua kosong, dan gunung-gunung batu, membuat saya memahami secara baru
betapa kuat dan berdisiplinnya Yesus. Ketika iblis mencobai-Nya di padang
gurun, seperti yang kita baca dalam Lukas 4:1, Yesus “dipenuhi Roh Kudus”
setelah dibaptis. Tetapi hidup dalam Roh tidak membebaskan-Nya dari cobaan. Saat
saya berdiri di tengah padang gurun, saya mencoba membayangkan Yesus berjuang
melawan iblis. Seorang diri di padang gurun, jauh dari pekerjaan dan sahabat-sahabat,
Yesus dapat dengan mudah menyerah pada dorongan-dorongan mental dari raja
kegelapan yang licik: “Jika Engkau Anak Allah, suruhlah batu ini menjadi roti”
(Luk 4:3). “Segala kuasa itu serta kemuliaannya akan kuberikan kepada-Mu” (Luk
4:6). “Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu dari sini ke bawah” (Luk
4:9). Dalam keadaan lapar di daerah berbatu-batu dan gersang itu, roti dapat
menjadi godaan yang nyata. Istana Herodes yang terletak di sebelah selatan,
tampak dari bukit batu, dan menjadi godaan yang kuat untuk memiliki kekuasaan
duniawi. Dan tebing-tebing batu yang tak berkesudahan, penuh dengan bahaya,
dapat menjadi dorongan untuk berspekulasi tentang janji Allah mengirim
malaikat-malaikat penolong. Sebelum saya mengunjungi padang gurun, jawaban
Yesus kepada Iblis terdengar terus terang, “Jangan engkau mencobai Tuhan
Allahmu!” (Luk 4:12). Yesus dengan jelas mengatakan kepada Iblis bahwa mencobai
Tuhan itu merupakan perbuatan yang tidak dapat diterima.
Ketika saya berdiri di
padang gurun dan menyadari betapa kuat Yesus menghadapi godaan-godaan, saya
teringat pada penemuan saya waktu retret, yaitu bulu mata dan kemanusiaan-Nya
yang dapat disakiti. Dengan semakin menyadari kemanusiaan-Nya saya semakin
bersyukur atas karunia iman Kristiani yang saya dapatkan. Dan rasa syukur itu
menambah keinginan saya untuk meneladan Dia, yang keilahian-Nya memancar terang
melalui kemanusiaan-Nya.
2. Jalan ke Neraka
Apabila
kita mengetahui bahwa Tuhan telah mempersiapkan siksa yang wajar bagi
para pendosa, maka kita dapat bertanya lagi: siapa saja yang masuk
neraka dan karena dosa apa saja. Pada tempat yang pertama kali harus
ditegaskan bahwa yang menghukum adalah Allah yang adil, Allah yang
begitu bijaksana, baik dan belaskasih. Tidak ada satu makhluk pun
diciptakan Tuhan untuk neraka dan tidak ada seorang pun dihukum tanpa
dosa pribadinya. Neraka menurut kodratnya adalah suatu siksa. Tuhan
hanya menolak mereka yang layak disiksa karena kesalahannya yang besar.
Pendosa yang diceburkan ke dalam neraka mengerti bahwa ia menuai apa
yang ditaburnya sendiri. Ia sudah berpaling dari Tuhan dan membelakangi
Tuhan. Ia menolak pertobatan dan meninggal tanpa sesal.
Dikatakan
pula bahwa murka Allah nyata dari Surga atas segala kefasikan dan
kelaliman manusia yang menindas kebenaran dengan kelaliman. (Rom 1:18).
Dari Kristus sendiri kita mendengar bahwa mereka telah berbuat jahat
akan bangkit untuk dihukum. (Yoh 5:29). Dan Santo Yakobus memberi
peringatan bahwa dosa yang sudah matang akan melahirkan kematian. (Yak
1:15). Pikiran ini tersebar di seluruh Kitab Suci; dosa membawa kematian
yaitu kematian jiwa dan badan; hanya kebenaran membawa kehidupan yang
benar.
Kadang-kadang
disebut juga macam dosa secara konkrit, dosa tidak percaya: Barangsiapa
tidak percaya ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya
dalam nama Anak Tunggal Allah. (Yoh 3:18)
Tidak
ada seorang terkutuk dapat berkata bahwa apa yang ia lakukan tidak
seberapa beratnya. Juga Tuhan tidak dapat dipersalahkan karena Tuhan
memberi rahmat yang cukup untuk mencapai kebahagiaan. Hanya kehendak
jahat dari pihak pendosa membuat dia layak menerima siksa neraka.
Dosa
menyesatkan orang lain: Barangsiapa menyesatkan salah satu dari
anak-anak kecil ini yang percaya pada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah
batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam
laut. (Mat 18:6). Santo Paulus sendiri menyusun suatu daftar perbuatan
yaitu percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir,
perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri,
percederaan, roh pemecah belah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan
sebagainya. Lalu ia melanjutkan: terhadap semuanya itu aku peringatkan
kamu bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan
mendapat bagian dalam kerajaan Allah. (Gal 5:19-21). Dan pada saat
perpisahan definitif antara orang yang baik dan orang yang buruk,
dikatakan: Tinggal di luar, hai anjing-anjing dan tukang-tukang sihir,
orang sundal, orang pembunuh, penyembah berhala dan setiap orang yang
mencintai dosa dan yang melakukannya. (Why 22:15). Bersama orang
penakut, orang yang tidak percaya dan orang keji, mereka akan mendapat
bagian mereka di dalam lautan yang bernyala-nyala oleh api dan belerang;
inilah kematian yang kedua. (Why 20:8)
Setiap
orang yang mati dalam keadaan berdosa berat masuk ke neraka, juga orang
yang menamakan dirinya Kristen. Santo Paulus menasehati
saudara-saudaranya di dalam iman agar mereka tidak menipu diri di dalam
masalah ini. tidak tahukah kamu bahwa orang yang tidak adil tidak akan
mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Kita harus mempunyai pengharapan
yang kokoh kuat kepada Kristus tetapi kita juga harus selalu taat sesuai
dengan perkataan Kitab Suci: Kerjakanlah keselamatanmu dengan takut dan gentar. (Fil 2:12)
3. Pelaksanaan Siksa
Neraka
berarti ketidakhadiran Tuhan dan siksa api. Siksa-siksa ini dirasakan
oleh pendosa sesudah kematian, langsung dan tidak diulur-ulurkan. Neraka
itu kekal sifatnya. Kitab Suci mempergunakan bahasa yang jelas untuk
menandaskan kekekalan mereka. Pendosa diancam dengan siksa yang kekal
(Mat 25:46), dengan api yang kekal (Mat 18:8), dengan hukuman kekal (Ibr
6:2); tidak ada ampun selama-lamanya karena ia berbuat dosa kekal. (Mrk
3:29)
4. Sifat Siksa
4.1 Kekal
Untuk
mendapat pandangan yang lebih jelas mengenai semuanya itu, kita patut
memiliki pengertian yang mendalam tentang kebesaran Tuhan dan tentang
keburukan dosa. Mengapa siksa itu harus kekal? Baiklah kita mulai dengan
berkata bahwa siksa itu harus kekal oleh karena dosa besar adalah
kejahatan yang luar biasa. Pendosa memberontak terhadap Tuhan: ia
menghina Tuhan dengan melanggar perintah Tuhan dan dengan melekatkan
diri kepada salah satu makhluk seakan-akan makhluk inilah yang tertinggi
nilainya dan tujuannya yang terakhir. Seringkali pendosa tidak secara
terang-terangan membangkang terhadap Tuhan; tetapi perbuatannya adalah
suatu penolakan terhadap Tuhan karena ia memandang makhluk ciptaan
sebagai sesuatu yang paling utama; manusia pendosa mengkehendaki secara
implisit agar tidak ada Tuhan yang melarang dosa.
Siksa
itu kekal justru karena kesalahan pun kekal sifatnya. Seorang terkutuk
tidak mendapat ampun selama-lamanya melainkan bersalah karena berbuat
dosa kekal. (Mrk 3:29). Dan kesalahan itu kekal karena yang terkutuk
berpegang teguh pada kehendaknya yang jahat. Ia tidak akan bertobat
karena ia tidak mau bertobat. Tuhan yang mahabaik dan mahabijaksana
selalu siap dengan rahmat-Nya. Ia mengundang pendosa dan menantikannya
tetapi sia-sia. Karena itu Tuhan menyiksa sesuai dengan keadilan-Nya.
4.2 Perbedaan
Walaupun
para terkutuk kehilangan pandangan Tuhan dan walaupun mereka disiksa
oleh api, namun ada perbedaan di dalam penderitaan. Tuhan itu adil dan
ia tidak menghukum seorang pun lebih daripada yang patut diterimanya.
Oleh karena kesalahan mereka berbeda-beda maka siksa pun berbeda-beda
pula.
Kristus
sendiri telah menyatakan itu ketika Ia berkata kepada yang tidak mau
menerima pewartaan Para Rasul: Pada hari penghakiman tanah Sodom dan
Gomora akan lebih ringan tanggungannya daripada kota itu. (Mat 10:15).
Pada suatu kesempatan lain Kristus berkata: Hamba yang tahu akan
kehendak tuannya tetapi yang tidak mengadakan persiapan atau tidak
melakukan apa yang dikehendaki tuannya, ia akan menerima banyak pukulan.
Tetapi barangsiapa tidak tahu akan kehendak tuannya dan melakukan apa
yang harus mendatangkan pukulan, ia akan menerima sedikit pukulan. (Luk
12:47)
Perkataan
ini membuat kita menduga bahwa ada perbedaan yang sangat besar di dalam
siksa oleh karena ada perbedaan yang besar pula di dalam kesalahan.
Kita tidak mengerti apakah arti yang sebenarnya dari “banyak” dan
“sedikit” itu. Yang pasti ialah bahwa makin banyak rahmat yang kita
terima makin besar pula resiko yang dan tanggungjawab kita. Oleh karena
itu kita dapat mendengarkan dari mulut Kristus sendiri: Setiap orang
yang kepadanya banyak diberi, daripadanya akan banyak dituntut dan
kepada siapa yang banyak dipercayakan, daripadanya akan lebih banyak
lagi dituntut. (Luk 12:48). Ucapan Kristus ini mengajak kita untuk
bermawas diri secukupnya dan sejujurnya.
Keputusan
Tuhan membawa perpisahan yang sangat radikal. Di dalam dunia ini yang
baik dan yang buruk masih bercampur-baur. Yang buruk kelihatan di tengah
yang baik sebagai ilalang di antara gandum. (Mat 13:25). Menang dan
kalah silih berganti. Tetapi pada akhir zaman mereka dipisahkan; yang
baik dikumpulkan dan yang buruk dibuang. Berlainan sekali dengan
perkataan Kristus: Marilah kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku,
kedengaranlah suara: Enyahlah daripada-Ku hai kamu orang terkutuk,
enyahlah ke dalam api yang kekal. Dan mereka akan masuk ke tempat
siksaan kekal, tetapi orang benar akan masuk dalam hidup yang kekal.
(Mat 25:41-46).
1. Siksa Neraka
Kristus
tidak mau menegaskan secara konkrit sifat-sifat yang sebenarnya
daripada siksa neraka itu. Ia selalu menyesuaikan diri dengan kebiasaan
setempat, juga dalam memilih kata-kata. Ia berbicara tentang dapur api
(Mat 13:42), tentang api yang tak terpadamkan (Mrk 9:43).
1.1 Adanya siksa
Sang
Penebus datang bukan untuk mengancam. Tugas-Nya ialah membawakan kabar
gembira mengenai Kerajaan Allah. (Mat 4:23). Tidak semua orang
menerimanya. Dan mereka yang menolaknya akan dibuang ke luar. Yohanes
Pembabtis menerangkan: Hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan
... setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik pasti ditebang
dan dibuang ke dalam api. (Mat 3:8-10). Dan Kristus
sendiri berkata dalam suatu perumpamaan: Seperti ilalang dikumpulkan dan
dibakar dalam api, demikian juga pada akhir zaman. Anak manusia akan
menyuruh malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan mengumpulkan segala
sesuatu yang menyesatkan dan semua orang yang melakukan kejahatan.
Semuanya akan dicampakkan ke dalam dapur api. Di sana akan terdapat
ratapan dan kertakan gigi. (Mat 13:44-46). Hal yang sama masih
diungkapkan oleh Yesus dalam banyak perumpamaan lain: perumpamaan
tentang pukat, di mana orang membuang ikan yang tidak baik. (Mat 13:48);
lalu perumpamaan tentang perjamuan. Ketika para undangan menolak
undangan dan menyiksa para hamba dan membunuhnya, murkalah raja; ia
mengirim pasukan ke sana untuk membinasakan pembunuh-pembunuh itu dan
membakar kota mereka.(Mat 22:7). Tentang hamba yang tidak setia
diberitakan bahwa tuan akan membunuh dia dan membuat senasib dengan
orang munafik. (Mat 24:51). Aku tidak tahu darimana kamu datang,
enyahlah dari pada-Ku, hai kamu sekalian yang melakukan kejahatan. (Luk
12:37). Bagi mareka yang tidak melaksanakan cintakasih, akan terdengar:
Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang yang terkutuk, enyahlah ke
dalam api yang kekal. (Mat 25:41). Dan akhirnya, kesimpulan ringkas dari
tugas yang diberikan Yesus kepada Para Rasul-Nya; pergilah ke seluruh
dunia dan wartakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya
dan dibabtis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan
dihukum. (Mrk 16:15-16).
Santo
Paulus pun berbicara dengan jelas sekali. Pada waktu Tuhan Yesus dari
dalam Surga menyatakan diri-Nya bersama dengan malaikat-malaikat-Nya,
dalam kuasa-Nya, di dalam api yang bernyala-nyala dan mengadakan
pembalasan terhadap mereka yang tidak mau mengenal Allah dan tidak
menaati Injil Yesus, Tuhan kita. Mereka akan menjalani hukuman
kebinasaan selama-lamanya, dijauhkan dari hadirat Tuhan dan dari
kemuliaan kekuatan-Nya. (2 Tes 1:7-9). Oleh karena itu, Rasul Paulus
menasehati para pendosa dengan sangat: Oleh kekerasan hatimu yang tidak
mau bertobat, engkau menimbun murka atas dirimu sendiri pada waktu mana
murka dan hukuman Tuhan yang adil akan dinyatakan. Ia akan membalas
setiap orang menurut perbuatannya yaitu hidup kekal kepada mereka yang
dengan tekun berbuat baik, mencari kemuliaan, kehormatan dan
ketidakbinasaan, tetapi murka dan geram kepada mereka yang mencari
kepentingan sendiri, yang tidak taat kepada kebenaran, melainkan taat
kepada kelaliman. Penderitaan dan kesesakan akan menimpa setiap orang
yang berbuat jahat, sebab Allah tidak memandang bulu. (Rom 2:5-11)
Allah
yang belaskasihan-Nya tidak terbatas akan menghukum para pendosa yang
tidak mau bertobat dengan hukuman berat di kehidupan yang lain.
1.2 Kehilangan Tuhan
Kalimat
“Enyahlah daripadaKu, hai kamu orang terkutuk, enyahlah ke dalam api
yang kekal. (Mat 25:41)” mencakup dua masalah yaitu kehilangan Tuhan dan
siksa api.
Para
terkutuk tahu bahwa Tuhan ada: mereka juga tahu bahwa Ia adalah
kebaikan yang tidak terhingga, tetapi mereka tidak memandang-Nya dan
mereka tidak mencintai-Nya; mereka merasakan bahwa kebenaran, kebaikan
dan keindahan yang tidak terkatakan itu menolak mereka dan membuang
mereka. Selama mereka hidup di dunia mereka tidak mau tahu-menahu
mengenai Tuhan; mereka menganggap Tuhan sebagai suatu halangan bagi
kebahagiaan mereka; mereka mau hidup tanpa Tuhan; mereka mau hidup
sesuka hatinya. Mereka tidak membutuhkan Tuhan dan sekarang juga mereka
harus hidup tanpa Tuhan. Segala macam kegembiraan duniawi sudah hilang
lenyap; mereka merasakan suatu kekosongan yang mengerikan. Bagaikan
bayang-bayang kesemuanya itu berlalu, laksana kabar yang melintas dengan
cepatnya, laksana asap yang dicerai-beraikan angin. Keb 5:11-14.
Mereka
sangat merasakan kehilangan Tuhan. Kerinduan dasar dari jiwa mereka
ingin memiliki Tuhan, kebenaran, kebaikan dan keindahan yang sempurna.
Tetapi keinginan itu mengalami frustrasi terus-menerus. Sekarang mereka
tahu bahwa Allah adalah kehidupan dari kehidupan mereka, tetapi mereka
tahu juga bahwa mereka sudah terputus daripada-Nya. Mereka tahu bahwa
mereka sudah hilang, ditinggalkan oleh Tuhan dan diusir oleh Tuhan.
Pikiran kepada Tuhan tidak pernah melepaskan mereka; pikiran itu selalu
menyiksa mereka dan mengejar mereka. Tetapi bukan itu saja. Kedukaan
mereka tidak hanya terdiri dari kehilangan Tuhan. Mereka juga merasakan
suatu kekosongan. Di dalam hatinya terdapat suatu kerinduan yang tidak
terhapuskan akan kebenaran, kebaikan dan keindahan tetapi didorong oleh
kehendak jahat mereka telah memilih kebohongan, ketidakbenaran dan
keburukan.
Sebab
dari kesemuanya itu ialah kehendak mereka yang telah memilih yang
buruk. Di dalam mereka tidak ada bekas cintakasih. Kebajikan kepercayaan
sudah mati di dalam mereka. Mereka masih menerima bahwa Tuhan itu ada
tetapi sinar Tuhan tidak menyinari mereka. Ada lagi satu masalah khusus
di neraka yaitu bahwa di sana tidak ada pengharapan lagi. Para terkutuk
tahu bahwa mereka tidak mengharapkan lagi sesuatu. Tiap kesengsaraan
akan lebih mudah terpikul apabila ada harapan di neraka. Tetapi
pembuangan ini sifatnya kekal sehingga tidak terdapat harapan sama
sekali.
Apabila
kita meresapkan semuanya ini dan memperhatikan apa yang dilakukan oleh
Tuhan yang mahabelaskasih terhadap para pendosa yang tidak bertobat,
maka kita harus dapat berkata: Sungguh ngeri apabila jatuh ke dalam
tangan Allah yang hidup. (Ibr 10:31)
1.3 Api Neraka
Kitab
Suci mempergunakan beberapa istilah untuk menyatakan siksa di neraka.
Ulat yang tidak mati (Mrk 9:48), ratapan dan kertakan gigi (Mat 24:51);
kegelapan yang paling gelap (Mat 8:12); lautan api dan belerang (Why
20:10); gua-gua gelap di mana malaikat berdosa ditahan (2 Pet 2:4);
belenggu abadi di dalam dunia kekelaman (Yud 1:6); tempat penderitaan
(Luk 16:28). Istilah yang paling banyak dipergunakan ialah: api yang
tidak terpadamkan, api kekal. (Mrk 9:44). Tuhan hendak menyampaikan
kepada kita siksa neraka melalui pengertian api.
Kita
tidak mengetahui sifat dan cara kerja api tersebut. Kita hanya dapat
mengatakan bahwa di samping kehilangan Tuhan, masih ada lagi satu
makhluk yang menyiksa para terkutuk, dan makhluk itu dinyatakan dalam
istilah api. Dunia pengertian kita tidak dapat menggambarkan siksa ini
lebih baik daripada api. Tidak ada gunanya menanyakan bagaimana api ini
menyiksa jiwa dan bagaimana badan-badan di neraka menyala tanpa menjadi
hangus. Suatu tabir rahasia menyelubungi semuanya itu dan kita tidak
mampu mengungkapkannya.
Basilica of Saint Clement, Mosaic in the Apse, Rome.
|
Gambar dalam Kompendium Katekismus Gereja Katolik - Mosaic in the Apse
Mosaik kuno yang terdapat di Basilika Santo Klemens, Roma, menggambarkan kemenangan Salib, pusat misteri iman Kristen. Kita bisa memperhatikan hiasan megah rumbairumbai dari daun Akantus, dan dari sini muncul banyak sekali lingkaran yang keluar menuju segala arah dengan bunga-bunga dan buah-buahnya. Tanaman ini mendapatkan kekuatan dari salib Yesus, yang berkat kurban-Nya, manusia dan semesta alam diciptakan kembali. Yesus adalah Adam baru. Misteri penderitaan, wafat, dan kebangkitan-Nya membawa kelahiran kembali umat manusia dan rekonsiliasi dengan Bapa.
Di
sekeliling Kristus yang menderita, terdapat dua belas merpati putih
yang melambangkan kedua belas Rasul. Di kaki salib, berdiri Maria dan
Yohanes, murid yang dikasihi-Nya.
“Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: ‘Ibu, inilah anakmu!’ Kemudian, Ia berkata kepada murid-Nya: ‘Inilah ibumu!’ Dan sejak saat itu, murid itu menerima Maria di dalam rumahnya” (Yoh 19:26- 27).
Di
atas salib, tangan Bapa terulur, memberikan mahkota kemuliaan kepada
Putra-Nya yang melalui misteri Paskah menjadi pemenang atas kematian. Di
bawah tanaman itu, terdapat seekor rusa kecil yang bertempur melawan
ular jahat.
Dari
tanaman ini, yang menggambarkan pohon penebusan, muncullah sebuah mata
air yang memancar memberikan kehidupan bagi empat anak sungai, yang
melambangkan keempat Injil, tempat orang-orang beriman melepaskan dahaga
mereka seperti rusa yang datang ke sumber air kehidupan. Di sini,
Gereja digambarkan sebagai sebuah taman surgawi yang memperoleh
kehidupannya dari Kristus, pohon kehidupan sejati.
Ket: Situs resmi Vatikan (vatican.va) menyediakan buku elektronik (e-book) Kompendium Katekismus Gereja Katolik dalam bahasa Indonesia yang dapat didownload dengan gratis. Kaum awam sangat disarankan untuk membaca Kompendium Katekismus Gereja Katolik ini.
Menjelang umur 50 tahun, Konsili Vatikan II yang
diselenggarakan dari tanggal 11 Oktober 1962 hingga 8 Desember 1965 masih sering disalahpahami dari
berbagai sisi oleh banyak umat Katolik. Penyebaran kekeliruan melalui media
yang sangat cepat dan begitu intens mengenai Konsili Vatikan II semakin membuat
kesalahpahaman tersebut mengakar dan tentu saja semakin sulit untuk dikoreksi.
Tetapi, bagaimanapun juga, kita tidak dapat berada dalam kondisi seperti ini terus.
Oleh karena itu, saya akan memaparkan sejumlah kesalahpahaman umum mengenai
Konsili Vatikan II dan koreksinya.
1. Konsili
Vatikan II adalah konsili dogmatis.
Apa yang
dimaksudkan dari pernyataan ini adalah Konsili Vatikan II merupakan konsili yang membuat dan mendeklarasikan ajaran (dogma dan
doktrin) baru yang berbeda dari ajaran Gereja Katolik sebelum Konsili
Vatikan II. Ajaran-ajaran Konsili Vatikan II dipandang sebagai satu-satunya
ajaran Gereja yang berlaku untuk masa sekarang, sementara ajaran-ajaran
konsili-konsili ekumenis sebelumnya tidak berlaku lagi.
Pernyataan di
atas adalah keliru dan tidak pernah sesuai dengan apa yang diintensikan oleh
Konsili Vatikan II sendiri. Konsili Vatikan II sungguh adalah magnum opus (karya besar) Gereja Katolik
pada abad ke-20 tetapi sifat atau natur
dari Konsili Vatikan II bukanlah konsili dogmatis melainkan konsili pastoral.
Konsili Vatikan II secara umum berbicara bagaimana ajaran-ajaran Gereja yang
sudah dipegang sejak Gereja berdiri tahun 33 AD disajikan dan diteruskan kepada
dunia dalam bentuk yang lebih segar sesuai dengan perkembangan zaman serta
bagaimana Gereja berinteraksi dengan dunia modern tanpa mengkompromikan
ajaran-ajarannya. Berikut ini saya kutipkan pernyataan-pernyataan Para Bapa
Konsili Vatikan II dan Joseph Cardinal Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI):
“Tujuan [Vatikan II] sejak pertama adalah pembaharuan pastoral dalam Gereja dan sebuah pendekatan baru kepada [dunia] luar.” (John Kardinal Heenan, Kardinal dan Uskup Agung Westminster, Bapa Konsili Vatikan II)
“Ada mereka yang bertanya atas otoritas apa, atas kualifikasi teologis apa Konsili [Vatikan II] berkehendak untuk memberikan kepada ajaran-ajarannya, dengan mengetahui bahwa konsili [Vatikan II] menghindari mengeluarkan definisi-definisi dogmatis yang meriah [yang] didukung oleh otoritas mengajar Gereja yang tidak bisa salah. Jawabannya [dapat] diketahui oleh mereka yang mengingat deklarasi konsili pada 6 Maret 1964 yang diulangi lagi pada 16 November 1964. Mengingat sifat pastoral dari Konsili [Vatikan II], [konsili ini] menghindari pernyataan secara luar biasa atas dogma apapun yang membawa tanda ke-tak-bisa-salah-an.” (Paus Paulus VI)
“ ... Memang ada mentalitas pandangan sempit yang mengisolasi Vatikan II dan yang telah memprovokasi pertentangan ini. Ada banyak hal darinya yang memberikan kesan bahwa, sejak Vatikan II dan sesudahnya, semuanya telah berubah, dan apa yang mendahuluinya (Vatikan II) tidak mempunyai nilai atau, paling tidak, hanya mempunyai nilai dalam terang Vatikan II. ... Konsili Vatikan II tidak diperlakukan sebagai bagian dari seluruh Tradisi yang hidup dari Gereja., tapi sebagai akhir dari tradisi, sebuah awal dari nol. Padahal sebenarnya adalah konsili ini tidak mendefinisikan dogma apapun, dan secara sengaja memilih untuk tetap berada pada level yang sederhana, hanya sebagai konsili pastoral; namun banyak yang memperlakukannya (Vatikan II) seakan-akan [Vatikan II] sendiri membuat dirinya (Vatikan II) menjadi suatu superdogma yang menghilangkan pentingnya semua [Tradisi hidup Gereja] yang lain. ... Satu-satunya cara yang mana untuk membuat Vatikan II masuk akal adalah untuk menyajikannya (Vatikan II) sebagai apa adanya; [yaitu sebagai] satu bagian dari ketidakterputusan, keunikan Tradisi dari Gereja dan dari imannya (Gereja).” (Joseph Kardinal Ratzinger, sekarang Paus Benediktus XVI, di hadapan para Uskup Cile.)
Ket: Terimakasih kepada Deusvult, moderator situs
ekaristi.org, atas terjemahannya.
2. Konsili
Vatikan II membatalkan dogma Extra Ecclesiam Nulla Salus (Di Luar Gereja Tidak
Ada Keselamatan). Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa “di luar Gereja ada
keselamatan.”
Kesalahpahaman
ini adalah konsekuensi dari kesalahpahaman pertama yang saya tulis di atas.
Banyak umat Katolik menganggap bahwa dogma Extra Ecclesiam Nulla Salus adalah
ajaran Gereja masa lalu yang sudah dibatalkan oleh Konsili Vatikan II dan
digantikan dengan ajaran “Di Luar Gereja Ada Keselamatan” bahkan ada pula yang
semakin memperluasnya menjadi “Di Luar Kristus Ada Keselamatan”. Malah banyak
pula yang menyatakan Extra Ecclesiam Nulla Salus tidak pernah menjadi dogma
Gereja Katolik, dulu dan sekarang.
Konsili Vatikan II dipandang, oleh banyak umat Katolik sendiri,
mengajarkan bahwa agama-agama lain dan gereja-gereja lain juga dapat menghantar
setiap orang kepada keselamatan sama seperti Gereja Katolik menjadi tanda dan
sarana keselamatan bagi semua bangsa. Dengan kata lain, agama-agama dan
gereja-gereja tersebut menjadi jalan keselamatan yang komplementer terhadap
Gereja Katolik.
Tentu saja hal
di atas kesalahpahaman yang sama sekali tidak pernah diajarkan Konsili Vatikan
II. Mengenai hal ini saya telah membahasnya secara lebih detail pada artikel: Apakah Konsili Vatikan II Menganulir Dogma EENS?.
Apa yang diajarkan Gereja sebelum dan sesudah Konsili Vatikan II adalah sama
termasuk Dogma Extra Ecclesiam Nulla Salus. Saya pertegas kembali; DOGMA Extra
Ecclesiam Nulla Salus. Karena EENS adalah DOGMA Gereja, maka setiap umat
beriman Katolik terikat kewajiban untuk mengimani dogma ini sama seperti
mengimani Dogma Tritunggal, Dogma Maria Bunda Allah dan dogma-dogma lainnya.
Untuk membantu memahami Dogma EENS, saya telah menuliskan artikel berjudul: Di Luar Yesus Kristus dan Gereja Katolik Tidak Ada Keselamatan. Berikut ini saya tampilkan bukti-bukti dari dokumen Gereja Katolik yang
menegaskan bahwa Konsili Vatikan II tidak menganulir dogma EENS:
Maka perlulah semua orang bertobat kepada Kristus, yang dikenal melalui pewartaan Gereja, dan melalui Babtis disaturagakan ke dalam Dia dan Gereja, yakni Tubuh-Nya. Sebab Kristus sendiri “dengan jelas-jelas menegaskan perlunya iman dan babtis (lih. Mrk 16:16; Yoh 3:5), sekaligus menegaskan perlunya Gereja, yang dimasuki orang-orang melalui Babtis bagaikan pintunya. Maka dari itu andaikata ada orang yang mengetahui bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan.” (Konsili Vatikan II, Dekrit Ad Gentes 7)
Maka dari itu andaikata ada orang yang mengetahui bahwa Gereja katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan. (Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium 14)
Pernyataan dan Pengajaran Gereja Katolik setelah Konsili Vatikan
II:
“Tidak ada keselamatan di luar Gereja. Hanya dari dialah (Gereja) kuasa hidup menuju Kristus dan RohNya mengalir secara pasti dan secara penuh, untuk memperbaharui seluruh kemanusiaan, dan karenanya mengarahkan setiap manusia untuk menjadi bagian dari Tubuh Mistik Kristus.” (Pope John Paul II, Radio Message for Franciscan Vigil in St. Peter's and Assisi, October 3, 1981, L'Osservatore Romano, October 12, 1981.)
Harus diimani dengan teguh bahwa Gereja adalah tanda dan sarana keselamatan bagi semua bangsa. Adalah bertentangan dengan iman Katolik untuk memandang berbagai agama dunia sebagai jalan-jalan keselamatan komplementer terhadap Gereja. (Kongregasi Doktrin Iman, Notifikasi Mengenai Tulisan Romo Jacques Dupuis, SJ., tanggal 24 Januari 2001)
“...adalah jelas bahwa menjadi bertentangan dengan iman, untuk menganggap Gereja sebagai satu jalan keselamatan yang ada berdampingan dengan jalan-jalan agama- agama lain, yang dilihat sebagai yang melengkapi Gereja atau yang secara hakiki sama dengannya, meskipun jika ini dikatakan sebagai pertemuan dengan Gereja menuju kerajaan Tuhan di akhir jaman.” (Deklarasi Dominus Iesus, dikeluarkan oleh Kongregasi Doktrin Iman tanggal 6 Agustus 2000)
3. Konsili
Vatikan II mengamanatkan penerimaan Komuni Kudus di tangan sambil berdiri.
Konsili Vatikan
II sama sekali tidak pernah mengamanatkan penerimaan Komuni Kudus di tangan
sambil berdiri dalam dokumen-dokumennya. Selama berabad-abad bahkan hingga
detik ini, norma resmi dan universal Gereja Katolik Latin mengenai penerimaan
Komuni Kudus adalah penerimaan di lidah sambil berlutut.
Praktik menerima
Komuni Kudus di tangan adalah indult
atau pengecualian terhadap norma universal Gereja Katolik yang diberikan oleh
Para Paus kepada konferensi-konferensi para uskup yang meminta indult tersebut di wilayahnya. Tanggal
29 Mei 1969 (4 tahun sesudah Vatikan II), dalam Instruksi Memoriale Domini, Paus Paulus VI mengamanatkan agar setiap
konferensi para uskup mempertahankan norma tradisional penerimaan Komuni Kudus
di lidah sambil berlutut. Namun, di samping itu juga, Paus Paulus VI menyatakan
dapat memberi indult (pengecualian
dari norma Gereja Universal) kepada konferensi-konferensi para uskup yang
memintanya terkait penerimaan Komuni Kudus di tangan. Sejak 1970, banyak
konferensi para uskup menerima indult tersebut.
Romo Greg
J. Markey membandingkan permintaan indult
ini dengan kasus perceraian yang diizinkan Musa (bdk Mat 19:8). Karena ketegaran para uskup meminta indult Komuni
di tangan, Paus Paulus VI mengizinkannya. Akan tetapi, sejak semula tidaklah
demikian.
Silahkan baca
berbagai artikel mengenai penerimaan Komuni di lidah yang mau tidak mau juga
membahas mengenai penerimaan Komuni di tangan.
4. Konsili
Vatikan II membatalkan Misa Latin Tradisional (Forma Ekstraordinaria atau
Tridentin) dan menggantikannya dengan Misa Paulus VI (Forma Ordinaria atau
Novus Ordo).
Banyak umat
Katolik (dan juga para imam) ketika mendengar mengenai Misa Latin Tradisional
menganggap Misa ini sebagai Misa pra-Vatikan II yang jadul, kuno dan sudah
tidak dirayakan lagi setelah Konsili Vatikan. Konsili Vatikan II dipandang
menggantikan Misa ini dengan Misa yang umum kita rayakan sekarang yang dikenal
dengan nama Misa Paulus VI (Novus Ordo). Anggapan salah yang terjadi kemudian
adalah bahwa Misa Tridentin tidak berlaku lagi setelah Konsili Vatikan II.
Tentu saja
Konsili Vatikan II tidak pernah menggantikan Misa Tridentin dengan Misa Novus
Ordo ini. Vatikan II tidak pernah mengamanatkan hal ini. Misa Paulus VI sendiri
diperkenalkan dan dipromulgasikan oleh Paus Paulus VI pada 3 April 1969 melalui
Konstitusi Apostolik Missale Romanum.
Setelah promulgasi ini, Paus Paulus VI tetap mengizinkan Misa Latin Tradisional
dirayakan di berbagai tempat termasuk Inggris dan Wales. Dua imam kudus yang
terkenal, St. Padre Pio dan St. Josemaria Escriva juga masih tetap merayakan
Misa Latin Tradisional sampai Allah memanggil mereka.
Paus Benediktus
XVI, dalam Motu Proprio Summorum
Pontificum yang dikeluarkan tanggal 7 Juli 2007, menegaskan bahwa: “Karena itu, adalah diijinkan untuk
merayakan Kurban Misa mengikuti edisi tipikal dari Misa Roma, yang
dipromulgasikan oleh Beato Yohanes XXIII pada 1962 dan tidak pernah dibatalkan (abrogated), sebagai suatu bentuk
luarbiasa dari Liturgi Gereja.”
5. Konsili
Vatikan II mengamanatkan bahwa kaum awam dapat membagikan Komuni Kudus.
Yang dapat dan berhak
membagikan Komuni Kudus adalah kaum tertahbis, sementara kaum awam tidak dapat
dan tidak berhak membagikan Komuni Kudus. Ini adalah norma universal-nya. Beato
Yohanes Paulus II menegaskan norma universal ini dalam Dokumen Dominicae Cenae (1980). “To touch the sacred species and to
distribute them with their own hands is a privilege of the ordained,”
Konsili Vatikan
II sama sekali tidak mengamanatkan bahwa kaum awam dapat membagikan Komuni
Kudus. Sama seperti penerimaan Komuni Kudus di tangan, praktik “kaum awam
membagikan Komuni Kudus” merupakan indult
(pengecualian dari norma Universal) yang diberikan atas persetujuan Tahta
Suci. Immensae Caritatis, sebuah
dokumen Gereja yang dikeluarkan oleh Kongregasi Penyembahan Ilahi dan Disiplin
Sakramen pada tahun 1973, menjelaskan kondisi-kondisi di mana seorang awam, dikecualikan
dari norma universal, dapat membagikan Komuni Kudus. Kondisi-kondisi itu adalah
seperti tidak adanya kaum tertahbis yang dapat membagikan Komuni Kudus; kaum
tertahbis berada dalam kondisi yang tidak sehat sehingga tidak dapat membagikan
Komuni Kudus; dan kondisi di mana terdapat umat dalam jumlah yang sangat besar
sehingga pembagian Komuni Kudus akan memakan waktu yang sangat lama bila hanya
dibagikan oleh kaum tertahbis.
Demikianlah 5
kesalahpahaman umum mengenai Konsili Vatikan. Koreksi terhadap
kesalahpahaman-kesalahpahaman tersebut dibuat atas dasar kasih dalam kebenaran.
Sekarang saatnya kita memandang Konsili Vatikan II dengan benar, dengan
memandangnya dalam keselarasan dengan konsili-konsili sebelumnya. Mari
membiasakan yang benar ketimbang membenarkan kebiasaan.
Dalam Kristianitas,
terdapat lebih dari satu bentuk salib yang memiliki keunikannya tersendiri.
Beberapa bentuk salib berkaitan langsung dengan Tuhan Yesus Kristus, sementara
yang lainnya berkaitan dengan sejumlah Para Kudus dan lain-lain. Berikut ini
daftar beberapa bentuk salib yang umum kita temui.
Salib Latin atau
Crux Immissa. Adalah bentuk Salib Kristus yang paling umum dan dipercayai
sebagai bentuk Salib yang sesungguhnya tempat Yesus wafat.
2. Salib Tau
Salib Tau atau
Crux Commissa. Adalah salib berbentuk T sebagaimana yang disebutkan dalam
Perjanjian Lama dan dilihat sebagai pre-figur (gambaran awal) dari Salib
Kristus. Yeh 9:4 Firman TUHAN kepadanya:
"Berjalanlah dari tengah-tengah kota, yaitu Yerusalem dan tulislah huruf T
(Tau) pada dahi orang-orang yang berkeluh kesah karena segala
perbuatan-perbuatan keji yang dilakukan di sana."
3. Salib
Bizantium
Salib bentuk ini
digunakan terutama oleh Gereja Katolik Timur dan Ortodoks Timur. Palang
melintang di bagian atas untuk tulisan INRI (Iesus Nazareus Rex Iudaeorum),
sedangkan palang melintang paling bawah untuk menggambarkan pijakan kaki Tuhan
Yesus.
4. Salib
Slavonik
Salib bentuk ini
digunakan terutama oleh Gereja Katolik Timur dengan tradisi Slav dan Ortodoks
Rusia. Salib ini sebenarnya adalah Salib Bizantium namun dengan pijakan kaki
berada dalam posisi diagonal. Palang miring ini merepresentasikan hal-hal
berikut: 1). Sisi palang yang lebih rendah melambangkan nasib orang-orang
berdosa sementara sisi palang yang lebih tinggi melambangkan surga. 2). Sisi
yang lebih rendah merepresentasikan penyamun yang tidak bertobat (Gestas),
sedangkan di sisi yang menaik merepresentasikan penyamun yang bertobat (St.
Dismas) dan akan bersama dengan Kristus di Firdaus.
5. Salib Yunani
Salib Yunani (Greek Cross) adalah
salah satu representasi artistik yang umum dari Salib. Salib bentuk ini (seperti
angka tambah + ) dan Tau mudah untuk disamarkan, dan membantu para pengikut
Kristus pada era Gereja perdana yang teraniaya untuk menyamarkan identitasnya.
6. Salib
Yerusalem
Disebut juga
Salib Tentara Salib (Crusaders Cross). Salib ini tersusun dari 5 buah Salib
Yunani, satu buah salib besar dan 4 lainnya salib kecil, yang menyimbolkan: a).
5 luka Kristus b). 4 salib kecil
merepresentasikan 4 kitab Injil dan 4 penjuru bumi dan salib besar
merepresentasikan Yesus Kristus sendiri. Salib ini adalah simbol umum yang
digunakan selama perang melawan agresi Islam.
7. Salib San
Damiano
Salib San
Damiano dibuat oleh seorang seniman Umbrian dan ditempatkan di kapel San
Damiano di Assisi, Italia. Di hadapan salib inilah, St. Fransiskus dari Assisi
bertobat dan dipanggil oleh Tuhan Yesus untuk memperbaiki Gereja-Nya. Salib San
Damiano kemudian dibawa oleh Suster-suster Klaris ke San Giorgio pada tahun
1257 dan sekarang berada di Kapel San Giorgio di Basilika St. Klara dari
Assisi.
8. Salib Malta
Salib Malta
diasosiasikan dengan Ksatria-ksatria St. Yohanes (juga dikenal sebagai Ksatria Hospitaller
St. Yohanes dari Yerusalem atau simpelnya, Ksatria dari Malta). 8 titik/poin
pada Salib ini menyimbolkan 8 Sabda Bahagia. Ordo St. Yohanes ini menjalankan
usaha penginapan dan rumah sakit bagi para peziarah Kristen ke Yerusalem tapi
kemudian terpaksa terjun bertempur selama perang melawan agresi Islam.
9. Salib Kalvari
Salib Kalvari
memiliki tiga tangga yang menggambarkan tiga kebajikan teologis: Iman, Harapan
dan Kasih.
10. Salib
Penginjil (Salib Evangelis)
Salib ini
memiliki empat tangga di bagian bawah yang merepresentasikan empat Kitab
Injil; Matius, Markus, Lukas dan Yohanes.
11. Salib St.
Petrus (Salib Terbalik)
Karena Petrus
ketika dimartir memilih untuk disalibkan secara terbalik, maka Salib Latin dalam
posisi terbalik menjadi simbol St. Petrus, dan dengan demikian pula menjadi salah satu
simbol Kepausan. Sayangnya, Salib St. Petrus ini diadopsi oleh para Satanist
sebagai simbol mereka dengan tujuan untuk mengambil posisi yang berseberangan
dengan Kekristenan. Berbagai situs anti-Katolik seringkali menuduh Paus memuja
setan karena menggunakan Salib St. Petrus ini.
12. Salib St.
Andreas (Salib X)
Salib ini
merepresentasikan St. Andreas, saudara St. Petrus, yang disalibkan dengan salib
berbentuk X ini.
13. Salib Keltik
(Celtic Cross)
Salib Latin dengan
sebuah batu di tengahnya menggambarkan keadaan alam Irlandia dan Skotlandia dan
Penginjilan (Evangelisasi) daerah-daerah ini.
Pax
et Bonum
follow
Indonesian
Papist's Twitter