- Home >
- Perang Dunia II >
- Enola Gay
Posted by : Surya Fahik
Jumat, 20 Juli 2012
DALAM pertemuan di Gedung Putih tanggal
18 Juni 1945, Kepala Staf AD Jenderal George C Marshall mendesak agar
Jepang diserbu untuk mengakhiri perang, dan Presiden Harry S Truman juga
memberikan persetujuan. Namun, meski mendukung invasi, Marshall juga
menyadari kemungkinan jatuhnya korban tentara AS dalam jumlah besar,
diperkirakan 69.000 orang dari kekuatan penyerbuan sebesar 190.000.
Dengan latar belakang seperti itu,
pertanyaan yang jelas bisa dikemukakan adalah: ”Perlukah sebenarnya
invasi ke Jepang, bahkan dengan tanpa penggunaan Bom-A pun?”
Jadi, apa alternatif untuk memaksa Jepang
menyerah, tetapi tanpa invasi? Satu ide yang juga disinggung dalam
sidang Gedung Putih tanggal 18 Juni 1945 adalah sekitar hasil Proyek
Manhattan, yang menyebut bahwa dua bom atom bisa diperoleh untuk
penggunaan operasional pada akhir Juli.
Mengantisipasi penggunaan senjata
revolusioner ini, Angkatan Udara AS pun mempersiapkan pesawat dan
perlengkapan lain yang dibutuhkan. Grup Komposit 509 telah diaktifkan
sejak Desember 1944 di bawah komando Kolonel Paul W Tibbets Jr, di mana
di dalamnya ada Skuadron Pengebom 393 yang diperkuat dengan pengebom
jarak jauh B-29 Superfortress, satu-satunya pesawat Amerika yang cukup
besar untuk mengangkut Bom-A pertama.
Awak skuadron ini telah berlatih di
Wendover, Utah, dan pada bulan April dan Mei 1945 dipindahkan ke North
Field di Pulau Tinian di Kepulauan Mariana.
Baik dalam penerbangan latihan maupun
familiarisasi ke Jepang, Grup 509 telah menjatuhkan bom bercat oranye
berisi 10.000 pon (sekitar 4,5 ton) TNT, yang dari segi bentuk
menyerupai Bom-A Fat Man.
Komite Sasaran pada Proyek Manhattan
memberi pilihan kota-kota Jepang yang akan menjadi sasaran Bom-A
pertama, yakni Kokura, Hiroshima, Niigata, dan Kyoto. Akan tetapi,
Menteri Perang AS Henry L Stimson melarang dilakukannya serangan
terhadap Kyoto mengingat kebudayaannya yang antik sehingga kemudian
dipilih kota lain.
Seiring dengan itu, berita tentang
kemajuan pembuatan Bom-A terus mengalir, termasuk ke Presiden Truman.
Ringkas kata, Bom-A telah siap digunakan. Sebagian besar Uranium-235
yang dibutuhkan untuk bom Little Boy diangkut dengan kapal penjelajah
Indianapolis ke Tinian pada tanggal 26 Juli. Pada tanggal 2 Agustus
muncul perintah operasi top secret Misi Pengeboman Khusus dengan
Hiroshima sebagai sasaran primer, Kokura sasaran sekunder, dan Nagasaki
sasaran tersier.
Kembali kepada misi pengeboman, misi ini
harus merupakan pengeboman visual, mengandalkan pada pengamatan mata
langsung, sehingga sebelumnya harus dilakukan penerbangan observasi oleh
pesawat cuaca yang juga dari jenis B-29.
Pada Minggu sore, 5 Agustus, ada
pemberitahuan bahwa cuaca di atas Jepang mulai cerah dan kondisi Senin
pagi akan cerah untuk melaksanakan serangan siang hari secara visual.
Dari sejak itu, tampaknya hitung mundur misi telah dilakukan. Awak
mendapat brifing terakhir dan semuanya telah disiapkan untuk tinggal
landas pra-fajar.
Waktu yang ditetapkan (Jam-J), Senin, 6
Agustus 1945, telah datang. Kolonel Tibbets membawa Enola Gay ke
landasan pacu North Field dan dengan suara mesin menderu, pengebom ini
tinggal landas pada pukul 02.45. Saat tinggal landas, berat kotor Enola
Gay mencapai 65 ton, 8 ton di atas berat pengebom normal B-29, dan itu
sebagian karena bom Little Boy sendiri beratnya sekitar empat ton.
Ketika pesawat yang terbang pada
ketinggian 31.600 kaki diarahkan ke kota sasaran ini pada pukul 08.06,
persiapan untuk menjatuhkan bom Little Boy yang misterius itu pun
semakin intens. Semua tampak tegang dan tidak ada yang berbicara,
kecuali awak pengebom (bombardier) kepada pilot. Pilot juga hanya
menjawab ringkas, ”Roger.”
Tiba-tiba, suara ”Bom telah meluncur (Bomb away)!” terdengar di inter. Bom Little Boy diarahkan ke jembatan di dekat pusat kota.
Begitu bom meluncur, seketika itu juga
pesawat membelok tajam. Prosedur ini telah dipraktikkan berkali-kali
sebelumnya. Dengan setiap detik berlalu, ketegangan pun meningkat. Apa
yang akan terjadi? Apakah senjata baru yang aneh ini akan bekerja?
Jawaban yang ditunggu pun sesaat kemudian muncul.
Tepatnya 17 detik setelah pukul 08.15
pagi itu, satu kilatan sinar berwarna putih kebiruan yang murni
membutakan karena terangnya dan sangat kuat membelah langit. Itu diikuti
dengan tebaran panas yang luar biasa, ledakan bak ribuan petir, dan
akhirnya dentuman yang mengguncangkan bumi, diikuti dengan awan debu dan
puing yang bergolak membubung hingga ketinggian sekitar 50.000 kaki.
Itulah saat terjadinya apa yang oleh
warga Hiroshima yang selamat disebut dengan pikadon, dari ”pika”
(kilat), diikuti dengan ”don” (geledek). Bom meledak pada ketinggian di
bawah 2.000 kaki atau sekitar 600 meter.
Saat itulah semua orang yang berada di
dalam pesawat menyadari bahwa mereka tengah menyaksikan digunakannya
senjata baru yang mengerikan, yang bisa dengan mudah mengakhiri perang.
Enola Gay lalu terbang memutari Hiroshima yang pasti telah hancur, lalu
mulai menjauh. Saat mereka telah berada sejauh 300 kilometer pun, awan
cendawan di atas sasaran masih terlihat.
Mereka telah menyaksikan debut senjata
atom. Senjata yang kemudian diketahui berkekuatan 17.000 ton TNT itu
diperkirakan telah membinasakan wilayah seluas sekitar 11 kilometer
persegi dari pusat ledakan (langsung di bawah ledakan bom).
Sekitar 60.000 dari 90.000 bangunan di
dalam area 23 kilometer persegi hancur atau rusak berat. Hanya sedikit
saja penduduk yang bisa berlindung di tempat perlindungan, dan angka
korban tewas yang sebenarnya di Hiroshima tak akan pernah diketahui.
Pihak Jepang berikutnya mencantumkan nama
61.443 orang yang dipastikan tewas di tugu peringatan yang didirikan di
pusat ledakan. Tiga hari kemudian, AS melakukan pengeboman terhadap
kota Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945.
Kontroversi Bom Atom
Sejarah memang telah terukir, tetapi
kontroversi mengenai penjatuhan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki terus
berlangsung hingga lama sesudah Perang Dunia II berakhir. Pertanyaan
mendasar yang acap dimunculkan tentu saja, ”Perlukah sebenarnya Jepang
dibom atom?”
Dr Taro Takemi, yang pernah menjabat
sebagai Presiden Himpunan Dokter Jepang, misalnya, satu kali menyebutkan
bahwa penggunaan Bom-A Amerika untuk mengakhiri Perang Dunia II ”bisa
jadi justru menyelamatkan Jepang”.
Menjelang berakhirnya perang, ia menulis,
”Pihak militer telah membawa Jepang ke tingkat di mana kalau tidak
menang, tidak akan menyerah.”
Padahal, menurut keyakinan Dr Takemi, Jepang pasti akan kalah dan banyak orang akan menderita bila Bom-A tidak dijatuhkan.
Bila orang meninjau bahwa Jepang akan
mengorbankan seluruh bangsa seandainya tak ada serangan Bom-A, bom itu
bisa dianggap sebagai penyelamat Jepang.
Mantan Duta Besar AS untuk Jepang
(1961-1966) Edwin O Reischauer dan salah seorang ahli Jepang terkemuka
mengatakan, ia ragu sebagian besar rakyat Jepang setuju dengan apa yang
dikemukakan oleh Dr Takemi.
Ia sendiri berpandangan bahwa penggunaan
Bom-A merupakan satu kesalahan pada saat itu, tetapi ia sudah berubah
pendapat (karena alasan yang sama dengan Dr Takemi).
Seperti dikatakan oleh saksi uji
peledakan Trinity, Bom-A sungguh mengerikan sehingga yang bisa ia
pikirkan hanyalah implikasi moral bila bom itu digunakan dalam
peperangan. Tapi, juga ada yang mengatakan, bukankah bangsa Jepang
sendiri yang mengundang digunakannya bom itu. Kalau mereka tak melakukan
serangan ke Pearl Harbor, tidak akan ada serangan Bom-A ke Hiroshima
dan Nagasaki.
Posting Komentar