- Home >
- Perang Dunia II >
- Nazi Jerman di Indonesia
Posted by : Surya Fahik
Jumat, 20 Juli 2012
BERKECAMUKNYA Perang Dunia II Teater
Asia-Pasifik, yang terjadi di Indonesia, diwarnai kehadiran pasukan Nazi
Jerman. Aksi mereka dilakukan usai menyerahnya Belanda kepada Jepang di
Kalijati, Subang, 8 Maret tahun 1942, atau 64 tahun silam. Namun,
kehadiran Nazi Jerman ke Indonesia seakan terlupakan dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia.
Kehadiran pasukan Nazi Jerman di
Indonesia, secara umum melalui aksi sejumlah kapal selam
(u-boat/u-boote) di Samudra Hindia, Laut Jawa, Selat Sunda, Selat
Malaka, pada kurun waktu tahun 1943-1945. Sebanyak 23 u-boat
mondar-mandir di perairan Indonesia, Malaysia, dan Australia, dengan
pangkalan bersama Jepang, di Jakarta, Sabang, dan Penang, yang
diberangkatkan dari daerah pendudukan di Brest dan Bordeaux (Prancis)
Januari-Juni 1943.
Beroperasinya sejumlah u-boat di kawasan
Timur Jauh, merupakan perintah Fuehrer Adolf Hitler kepada Panglima
Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine), Admiral Karl Doenitz. Tujuannya,
membuka blokade lawan, juga membawa mesin presisi, mesin pesawat
terbang, serta berbagai peralatan industri lainnya, yang dibutuhkan
”kawan sejawatnya”, Jepang yang sedang menduduki Indonesia dan Malaysia.
Sepulangnya dari sana, berbagai kapal selam itu bertugas mengawal kapal
yang membawa ”oleh-oleh” dari Indonesia dan Malaysia, hasil perkebunan
berupa karet alam, kina, serat-seratan, dll., untuk keperluan industri
perang Jerman di Eropa.
Pada awalnya, kapal selam Jerman yang
ditugaskan ke Samudra Hindia dengan tujuan awal ke Penang berjumlah 15
buah, terdiri U-177, U-196, U-198, U-852, U-859, U-860, U-861, U-863,
dan U-871 (semuanya dari Type IXD2), U-510, U-537, U-843 (Type IXC),
U-1059 dan U-1062 (Type VIIF). Jumlahnya kemudian bertambah dengan
kehadiran U-862 (Type IXD2), yang pindah pangkalan ke Jakarta.
Ini disusul U-195 (Type IXD1) dan U-219
(Type XB), yang mulai menggunakan Jakarta sebagai pangkalan pada Januari
1945. Sejak itu, berduyun-duyun kapal selam Jerman lainnya yang masih
berpangkalan di Penang dan Sabang ikut pindah pangkalan ke Jakarta,
sehingga Jepang kemudian memindahkan kapal selamnya ke Surabaya.
Adalah U-862 yang dikomandani Heinrich
Timm, yang tercatat paling sukses beraksi di wilayah Indonesia.
Berangkat dari Jakarta dan kemudian selamat pulang ke tempat asal, untuk
menenggelamkan kapal Sekutu di Samudra Hindia, Laut Jawa, sampai Pantai
Australia.
Nasib sial nyaris dialami U-862 saat
bertugas di permukaan wilayah Samudra Hindia. Gara-gara melakukan
manuver yang salah, kapal selam itu nyaris mengalami ”senjata makan
tuan”, dari sebuah torpedo jenis homming akustik T5/G7 Zaunkving yang
diluncurkannya. Untungnya, U-862 buru-buru menyelam secara darurat,
sehingga torpedo itu kemudian meleset.
Usai Jerman menyerah kepada pasukan
Sekutu, 6 Mei 1945, U-862 pindah pangkalan dari Jakarta ke Singapura.
Pada Juli 1945, U-862 dihibahkan kepada AL Jepang, dan berganti kode
menjadi I-502. Jepang kemudian menyerah kepada Sekutu, Agustus tahun
yang sama. Riwayat U-862 berakhir 13 Februari 1946 karena dihancurkan
pasukan Sekutu di Singapura. Para awak U-862 sendiri semuanya selamat
dan kembali ke tanah air mereka beberapa tahun usai perang.
Dilindungi Pribumi
Usai Jerman menyerah kepada Sekutu di
Eropa pada 8 Mei 1945, berbagai kapal selam yang masih berfungsi,
kemudian dihibahkan kepada AL Jepang untuk kemudian dipergunakan lagi,
sampai akhirnya Jepang takluk pada 15 Agustus 1945 usai dibom nuklir
oleh Amerika.
Setelah peristiwa itu, sejumlah tentara
Jerman yang ada di Indonesia menjadi luntang-lantung tidak punya
kerjaan. Orang-orang Jerman mengambil inisiatif agar dapat dikenali
pejuang Indonesia dan tidak keliru disangka orang Belanda. Caranya,
mereka membuat tanda atribut yang diambil dari seragamnya dengan
menggunakan lambang Elang Negara Jerman pada bagian lengan baju mereka.
Para tentara Jerman yang tadinya
berpangkalan di Jakarta dan Surabaya, pindah bermukim ke Perkebunan
Cikopo, Kec. Megamendung, Kab. Bogor. Mereka semua kemudian menanggalkan
seragam mereka dan hidup sebagai ”warga sipil” di sana.
Pengamat sejarah militer Jerman di
Indonesia, Herwig Zahorka, mengisahkan, pada awal September 1945 sebuah
Resimen Ghurka-Inggris di bawah komandan perwira asal Skotlandia datang
ke Pulau Jawa. Mereka kaget menemukan tentara Jerman di Perkebunan
Cikopo.
Sang komandan bertanya kepada Mayor
Angkatan Laut Jerman, Burghagen yang menjadi kokolot di sana, untuk
mencari tempat penampungan di Bogor.
Menggunakan 50 truk eks pasukan Jepang,
orang-orang Jerman di Perkebunan Cikopo itu dipindahkan ke tempat
penampungan di Bogor. Namun mereka harus kembali mengenakan seragam
mereka, memegang senjata yang disediakan pasukan Inggris, untuk
melindungi tempat penampungan yang semula ditempati orang-orang Belanda.
Saat itu, menurut dia, di tempat
penampungan banyak orang Belanda yang mengeluh, karena mereka ”dijaga”
oleh orang Jerman. ”Pada malam hari pertama menginap, langsung terjadi
saling tembak namun tak ada korban. Ternyata, orang-orang Indonesia
menyangka orang Jerman telah tertangkap oleh pasukan Sekutu, dan mereka
berusaha membebaskan orang-orang Jerman itu,” kata Zahorka.
Setelah peristiwa itu, Inggris
menyerahkan sekira 260 tentara Jerman kepada Belanda yang kemudian
ditawan di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu.
Tercatat pula, beberapa tentara Jerman
melarikan diri dari Pulau Onrust, dengan berenang menyeberang ke pulau
lain. Di antaranya, pilot pesawat angkatan laut bernama Werner dan
sahabatnya Lvsche dari U-219.
Selama pelarian, mereka bergabung dengan
pejuang kemerdekaan Indonesia di Pulau Jawa, bekerja sama melawan
Belanda yang ingin kembali menjajah. Lvsche kemudian meninggal, konon
akibat kecelakaan saat merakit pelontar api.
Arca Domas, Kenangan Tentara Jerman di Indonesia
JIKA ditempuh dari jalan raya Cikopo
Selatan, perlu waktu sekira setengah jam untuk sampai ke lokasi makam di
Kampung Arca Domas, Desa Sukaresmi, Kec. Megamendung, Kab. Bogor. Akan
tetapi, kendaraan harus “berjibaku” dulu menempuh jalan berbatu tanpa
aspal dengan jurang di satu sisi.
MAKAM sepuluh orang angkatan laut Nazi
Jerman, dua di antaranya awak kapal selam U-195 dan U-196, di Kampung
Arca Domas Desa Sukaresmi Kab. Bogor, menjadi saksi bisu kehadiran
pasukan Nazi Jerman di Indonesia pada Perang Dunia II. *KODAR
SOLIHAT/”PR” Anehnya, tidak banyak warga setempat yang tahu keberadaan
makam tentara Jerman tersebut. Mereka hanya tahu ada tempat pemakaman di
ujung jalan. Padahal, di tempat terpencil itu terbaring jasad sepuluh
tentara Angkatan Laut Nazi Jerman (Kriegsmarine) yang meninggal di
Indonesia, sesaat setelah Jepang menyerah pada Sekutu, Agustus 1945.
Luas areal pemakaman yang diteduhi pohon
kamboja itu, kira-kira 300 meter persegi. Sekeliling makam ditumbuhi
tanaman pagar setinggi satu meter. Pintu masuknya dihalangi pagar bambu.
Dekat pintu masuk, berdiri tugu peringatan Deutscher Soldatenfriedhof
yang dibangun Kedubes Republik Federal Jerman di Jakarta untuk
menghormati prajurit Jerman yang gugur.
Mereka adalah Komandan U-195 Friederich
Steinfeld dan awak U-195, Dr Heinz Haake. Lainnya adalah pelaut Jerman,
Willi Petschow, W. Martens, Wilhelm Jens, Hermann Tangermann, Willi
Schlummer, Schiffszimmermann (tukang kayu kapal laut) Eduard Onnen. Dua
nisan terpisah adalah makam tentara tidak dikenal (Unbekannt).
Makam itu terletak di lahan Afdeling
Cikopo Selatan II Perkebunan Gunung Mas. Dahulu, makam itu dirawat PT
Perkebunan XII (kini PT Perkebunan Nusantara VIII) selaku pengelola
Perkebunan Gunung Mas, namun sejak beberapa tahun terakhir perawatan
makam dibiayai pemerintah Jerman. Lahan yang bersebelahan dengan makam
tadinya areal tanaman teh dan kina. Akan tetapi, tanaman tersebut habis
dijarah, beberapa tahun lalu.
Pengamat sejarah militer Jerman di
Indonesia, Herwig Zahorka yang dihubungi “PR”, mengatakan, Letnan
Friederich Steinfeld meninggal di Surabaya akibat disentri dan kurang
gizi saat ditawan Sekutu. Keterangan ini diperoleh dari mantan awak
U-195 yang bermukim di Austria, Peter Marl (82tahun) dan mantan awak
U-195 lainnya, Martin Mueller yang datang ke makam tahun 1999.
Sedangkan Letnan Satu Laut Willi
Schlummer dan Letnan Insinyur Wilhelm Jens, tewas dibunuh pejuang
kemerdekaan Indonesia dalam Gedung Jerman di Bogor, 12 Oktober 1945.
Kemungkinan, mereka disangka orang Belanda apalagi aksen bahasanya
mirip.
Letnan Laut W. Martens terbunuh dalam
perjalanan kereta api dari Jakarta ke Bogor. Kopral Satu Willi Petschow
meninggal 29 September, karena sakit saat di Perkebunan Cikopo, serta
Letnan Kapten Herman Tangermann meninggal karena kecelakaan pada 23
Agustus tahun yang sama.
“Kendati saat itu terjadi salah sasaran
karena disangka orang Belanda, namun kemudian banyak orang Indonesia
mengenali ternyata mereka orang Jerman. Ini kemudian menjadikan hubungan
tersebut menjadi persaudaraan,” kata Zahorka, pensiunan direktur
kehutanan Jerman, yang bermukim di Bogor dan menikahi wanita Indonesia.
Mengenai keberadaan dua arca di makam
tersebut, Zahorka mengatakan, arca-arca itu sengaja disimpan sebagai
penghormatan kepada budaya warga setempat.
Warga Kampung Arca Domas, Abah Sa’ad (76
th), seorang saksi hidup peristiwa penguburan tentara Jerman di
kampungnya, Oktober 1945. Saat itu, usianya 15 tahun. Ia ingat, prosesi
pemakaman dilakukan puluhan tentara Nazi Jerman secara kemiliteran.
Peristiwa itu mengundang perhatian warga.
“Waktu itu, masyarakat tidak boleh
men-dekat. Dari kejauhan, tampak empat peti mati diusung tentara Jerman,
serta sebuah kendi yang katanya berisi abu jenazah. Tentara Jerman itu
berpakaian putih, dengan dipimpin seorang yang tampaknya komandan mereka
karena menggunakan topi pet,” tuturnya.
Sepengetahuan Abah Sa’ad, mulanya, makam
tentara Jerman itu hanya ditandai nisan salib biasa, sampai kemudian ada
yang memperbaiki makam itu seperti sekarang.
Keasrian dan kebersihan makam tersebut
tidak lepas dari peran penunggu makam, Mak Emma (65) yang dibiayai
Kedubes Jerman dua kali setahun. ” Biasanya, setiap tahun ada warga
Jerman yang menjenguk makam pahlawan negaranya itu,” ujarnya.
Namun, dia kurang tahu sejarah makam itu
karena baru diboyong suaminya (pensiunan karyawan Perkebunan Gunung Mas)
10 tahun lalu. Ia meneruskan pekerjaan suaminya (alm.) menjadi kuncen.
Jakarta Pernah Disinggahi Senjata Nuklir
U-195 dan U-219 Nyaris Ubah Sejarah
U-195 dan U-219 Nyaris Ubah Sejarah
DARI berbagai kapal selam Jerman yang
beraksi di Indonesia adalah U-195 dan U-219 yang bisa mengubah sejarah
di Asia-Pasifik, jika Jerman dan Jepang tidak keburu kalah. Kedua kapal
selam itu membawa uranium dan roket Nazi Jerman, V-2, dalam keadaan
terpisah ke Jakarta, untuk dikembangkan pada projek senjata nuklir
pasukan Jepang di bawah pimpinan Jenderal Toranouke Kawashima.
Ini merupakan langkah Jerman membantu
Jepang, yang berlomba dengan Amerika Serikat dalam membuat senjata
nuklir untuk memenangkan Perang Dunia II di Kawasan Asia-Pasifik.
Rencananya, projek senjata nuklir Jepang untuk ditembakkan ke wilayah
Amerika Serikat.
Kapal selam U-195 tiba di Jakarta pada 28
Desember 1944 dan U-219 pada 11 Desember 1944. Richard Besant dalam
bukunya berjudul Stalin’s Silver dan Robert K Wilcox dalam Japan’s
Secret War, hanya menyebutkan, kedua kapal selam itu membawa total 12
roket V-2 dan uranium ke Jakarta.
Namun, berbagai catatan tentang
diangkutnya uranium dan roket V-2 untuk Jepang itu melalui Indonesia,
hanya berhenti sampai ke Jakarta. Seiring menyerahnya Jerman kepada
pasukan Sekutu di Eropa pada 8 Mei 1945, keberadaannya tidak jelas lagi.
Sementara itu, projek senjata nuklir
Jepang di Hungnam, bagian utara Korea, sudah menguji senjata nuklirnya
sepekan lebih cepat dari Amerika Serikat. Namun Jepang kesulitan
melanjutkan pengembangan, karena untuk material pendukung harus menunggu
dari Jerman.
Kapal selam U-195 dan U-219 kemudian
dihancurkan pasukan sekutu, saat keduanya sudah berpindah tangan ke
Angkatan Laut Jepang. Sebagian awak U- 95 sendiri, ada yang kemudian
meninggal dan dimakamkan di Indonesia.
Kapal U-195 (Type IXD1) dikomandani
Friedrich Steinfeld, selama tugasnya sukses menenggelamkan dua kapal
sekutu total bobot mati 14.391 GRT dan merusak sebuah kapal lainnya yang
berbobot 6.797 GRT. Kapal selam itu kemudian dihibahkan ke AL Jepang di
Jakarta pada Mei 1945 dan berubah menjadi I-506 pada 15 Juli 1945.
Kapal ini kemudian dirampas Pasukan Sekutu di Surabaya pada Agustus 1945
lalu dihancurkan tahun 1947.
Sedangkan U-219 (Type XB) dikomandani
Walter Burghagen, yang selama aksinya belum pernah menenggelamkan kapal
musuh. Kapal selam ini kemudian dihibahkan ke AL Jepang di Jakarta, lalu
pada 8 Mei 1945 berubah menjadi I-505. Usai Jepang menyerah Agustus
1945, I-505 dirampas Pasukan Sekutu lalu dihancurkan di Selat Sunda oleh
Angkatan Laut Inggris pada tahun 1948.
Kisah aksi tugas kapal selam Jerman
selama perang Dunia II juga menjadi ilham dibuatnya film berjudul
“Das-Boot,” yang dirilis di Jerman tahun 1981. Salah satu nara sumber
autentik mengenai kehidupan para awak u-boat, adalah mantan perwira
pertama dari U-219, Hans Joachim Krug, yang kemudian menjadi konsultan
film itu.
Tak heran, pada film berdurasi 145 menit
tersebut, para awak kapal selam Jerman tergambarkan secara autentik.
Pergi berpenampilan rapi namun pulang dalam keadaan dekil, maklum saja
karena berhari-hari bahkan berminggu-minggu di dalam air, mereka jarang
mandi sehingga janggut, kumis, dan rambut pun cepat tumbuh.
U-234
Sementara itu, pada jalur pelayaran lain,
U-234 yang juga dari Type XB berangkat menuju Jepang melalui Lautan
Artik menjelang Mei 1945. Kapal selam itu juga mengangkut komponen roket
V2 dan 500 kg uranium untuk projek nuklir pasukan Jepang, serta membawa
pesawat tempur jet Me262.
Kapal U-234 membawa Jenderal Angkatan
Udara Jerman (Luftwaffe), sejumlah rancangan senjata paling mutakhir
Jerman saat itu, serta dua orang perwira Jepang. Selama perjalanan,
sejumlah kapal perang dan pesawat Sekutu mencoba menenggelamkan U-234.
Usai Jerman menyerah, 8 Mei 1945,
sejumlah awak U-234 memutuskan menyerah kepada pasukan Amerika Serikat.
Dari sini cerita berkembang, pasukan Amerika mendapati kapal selam itu
membawa uranium yang kemudian digunakan untuk projek Manhattan dalam
produksi bom nuklir mereka.
Muncul kemudian spekulasi, bom nuklir
yang berbahan uranium dari U-234 itu, kemudian digunakan Amerika untuk
mengebom Nagasaki dan Hiroshima Jepang pada Agustus 1945.
Misteri Hilangnya U-196 di Laut Kidul
DARI sejumlah kapal selam Jerman yang beraksi di perairan Indonesia, adalah U-196 yang masih menyimpan misteri keberadaannya.
Sampai kini, nasib kapal selam Type IXD2
itu hanya dikabarkan hilang di Laut Kidul (sebutan lain untuk bagian
selatan Samudra Hindia).
Berbagai catatan resmi u-boat di Jerman,
U-196 dinyatakan hilang bersama seluruh 65 awaknya di lepas pantai
Sukabumi sejak 1 Desember 1944. Sehari sebelumnya, kapal selam yang
dikomandani Werner Striegler itu, diduga mengalami nasib nahas saat
menyelam.
Kapal selam U-196 meninggalkan Jakarta
pada 29 November 1944, namun kemudian tak diketahui lagi posisi terakhir
mereka selepas melintas Selat Sunda. Pesan rutin terakhir kapal selam
itu pada 30 November 1944 hanya “mengabarkan” terkena ledakan akibat
membentur ranjau laut lalu tenggelam.
Namun dari ketidakjelasan nasib para awak
U-196, ada satu nama yang dinyatakan meninggal di Indonesia. Ia adalah
Letnan Dr. Heinz Haake yang makamnya ada di Kampung Arca Domas Bogor,
bersama sembilan tentara Nazi Jerman lainnya.
Minim catatan mengapa jasad Haake dapat
dimakamkan di sana, sedangkan rekan-rekannya yang lain tak jelas
nasibnya. Hanya kabarnya, ia dimakamkan atas permintaan keluarganya.
Selama kariernya, U-196 pernah mencatat
prestasi saat masih dipimpin komandan sebelumnya, Friedrich Kentrat.
Kapal selam itu melakukan tugas patroli terlama di kedalaman laut selama
225 hari, mulai 13 Maret s.d. 23 Oktober 1943. Kapal tersebut
menenggelamkan tiga kapal musuh dengan total bobot 17.739 GRT.
Posisi Friedrich Kentrat kemudian
digantikan Werner Striegler (mantan komandan U-IT23) sejak 1 Oktober
1944, sampai kemudian U-196 mengalami musibah sebulan kemudian.
Kendati demikian, sebagian pihak masih
berspekulasi atas tidak jelasnya nasib sebagian besar awak U-196. Walau
secara umum mereka dinyatakan ikut hilang bersama kapal selam itu di
Laut Kidul, namun ada yang menduga sebagian besar selamat.
Konon, kapal ini datang ke Amerika
Selatan kemudian sebagian awaknya bermukim di Iqueque, Chile. Dari sini
pun, tak jelas lagi apakah U-196 akhirnya benar-benar beristirahat di
sana, apakah kemudian kapal selam itu ditenggelamkan atau dijual ke
tukang loak sebagai besi tua, dll.
Seseorang yang mengirimkan e-mail dari
Inggris, yang dikirimkan 14 Oktober 2004, masih mencari informasi yang
jelas tentang keberadaan nasib awak U-196. Ia menduga, U-196 sebenarnya
tidak mengalami kecelakaan terkena ranjau di sekitar Selat Sunda dan
Laut Kidul, sedangkan para awaknya kemudian menetap di Cile.
Keyakinannya diperoleh setelah membaca
sebuah surat kabar di Cile, sejumlah awak kapal selam Jerman telah
berkumpul di Iqueque pada tahun 1945. Mereka tiba bersamaan dengan kapal
penjelajah Almirante Latorre, yang mengawal mereka selama perjalanan
dari Samudra Hindia. Di bawah perlindungan kapal penjelajah itu, kapal
selam tersebut beberapa kali bersembunyi di perairan sejumlah pulau,
sebelum akhirnya berlabuh di Pantai Selatan Cile.
Yang menimbulkan pertanyaan dirinya,
mengapa setelah tiba di Cile, tak ada seorang pun awaknya pulang ke
Jerman atau mencoba bergabung kembali dengan kesatuan mereka. Ini
ditambah, minimnya kabar selama 50 tahun terakhir yang seolah-olah
“menggelapkan” kejelasan nasib U-196, dibandingkan berbagai u-boat
lainnya yang sama-sama beraksi di Indonesia.
Entahlah, kalau saja Dr. Heinz Haake
masih hidup dan menjadi warga Negara Indonesia, mungkin ia dapat
menceritakan peristiwa yang sebenarnya menimpa U-196.
Posting Komentar